Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 23 Mei 2013

Daftar Nama PPDS Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

Daftar Nama PPDS 
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

  1. dr. Muhammad Zainuddin
  2. dr. Iva Yardini Syaaf
  3. dr. Jenda Maulana
  4. dr. Zainal Abdi
  5. dr. Doharman Silitonga
  6. dr. Syafran Halim Harahap  
  7. dr. Dewi Fitriani Nasution
  8. dr. Muhammad Gusti Shahfredi
  9. dr. Ferry Harismet
  10. dr. Asri Ludin Tambunan
  11. dr. Aini Pertiwi
  12. dr. Dika Iyona Sinulingga
  13. dr. Hendrik Sarumpaet
  14. dr. Lisa Yulianti
  15. dr. R. Arief Banu Pradipta
  16. dr. Rahmat Suhita Wahyu
  17. dr. Senior Tawarta Perangin-angin
  18. dr. Siti Taqwa Lubis
  19. dr. Yudi Andre Marpaung
  20. dr. Yuswita Santi Siregar
  21. dr. Arief Budiman
  22. dr. Darma Liza Effendi
  23. dr. Evy Novita P. Tarigan Sibero
  24. dr. Novrin
  25. dr. Barry TM. Sidabutar
  26. dr. Leo Widia Saputra
  27. dr. Afandi Al Amin
  28. dr. Inva Yolanda
  29. dr. Nova Damayanti
  30. dr. Dodo Aryanto
  31. dr. Koko Infana Tarigan
  32. dr. M. Feldi Gazali Nasution
  33. dr. Mario Budi P. Tambunan
  34. dr. Ali Imran Harahap
  35. dr. Ivan Ramayana
  36. dr. Rumbang Sembiring
  37. dr. Ryki M. Sihombing
  38. dr. M. Ferry Merbawanto
  39. dr. M. Isa Ansari Harahap
  40. dr. Riki Muljadi
  41. dr. Katharine
  42. dr. Ester Morina Silalahi
  43. dr. M. Budiman
  44. dr. Ratna Karmila
  45. dr. Wirandi Dalimunte
  46. dr. Agustina
  47. dr. Doharjo Manulang
  48. dr. Junita, M. Kes 
  49. dr. Naomi Niari Dalimunthe
  50. dr. Bayu Rusfandi Nasution
  51. dr. Elisabet Sipayung
  52. dr. Nelila P. Fitriani Siregar
  53. dr. M. Azhari
  54. dr. Herlina Yani
  55. dr. Sari Harahap
  56. dr. Erwin Pinayungan S.
  57. dr. Jhon Effram Ginting
  58. dr. Chairun Arrasyid
  59. dr. Sahat Halim
  60. dr. Andri Iskandar Mardia
  61. dr. Ida Maya Ramadhani Pane
  62. dr. Dian Anindita Lubis
  63. dr. Meivina Ramadhani Pane
  64. dr. Adi Sumanta Sembiring
  65. dr. Yusleny Yusuf
  66. dr. Firman Sakti Wibawanto
  67. dr. Farik Zarmal
  68. dr. Silvia Bukit
  69. dr. Welly Vitria
  70. dr. Joseph Partogi Sibarani
  71. dr. Hendra Wijaya Putra
  72. dr. R. Merlinda Veronica
  73. dr. Amaluddin Jaya Nasution
  74. dr. Bangun Tua Siregar
  75. dr. Nurfatimah Itoni Ritonga
  76. dr. Sheena Ria Zoraya Dalimunthe
  77. dr. T. Mira Neny Triana
  78. dr. Eva Roswati
  79. dr. Fadli Arsyad
  80. dr. Marthin Pasaribu
  81. dr. Faisal Parlindungan
  82. dr. Yohannes Chrisyanto
  83. dr. Siti Fatimah Hasibuan
  84. dr. Ananda Wibawanta Ginting  
  85. dr. Dedy M. Abu Bakar
  86. dr. Indah Maulidawati
  87. dr. Mardiya Sari
  88. dr. Rima Sari Purnama Siregar
  89. dr. Muhammad Vally Ramayanda
  90. dr. Dedy Shauqi Fahrianda
  91. dr. Dhini Sylvana
  92. dr. Rehulina br Tarigan
  93. dr. Deddy Sarjana
  94. dr. Dwi Handayani Nasution
  95. dr. Ricky Sanowara
  96. dr. Octo Tumbur
  97. dr. Brama Ihsan Sazli
  98. dr. Bratasena
  99. dr. Irmayani
  100. dr. Andi Raga Ginting
  101. dr. Frenky Jones
  102. dr. Muhammad Fahmi Hidayat
  103. dr. Faisal Sinurat
  104. dr. Olga Yanti Valentina Hutapea
  105. dr. Heri Gunawan
  106. dr. Yulika Ikhmawati
  107. dr. Andy Luman
  108. dr. Muhammad Balada Amin
  109. dr. Herlina Maria Sitorus
  110. dr. Rizqi Arini Siregar
  111. dr. Diana Puspita Sari Purba
  112. dr. Nursyamsiah
  113. dr. Ayu Sitoningrum
  114. dr. Iqbal Sungkar
  115. dr. Nyak Hayati M
  116. dr. Marah Halim Nasution
  117. dr. Ari Sudibrata
  118. dr. Ahsan Tanio Daulay
  119. dr. Dwi Bayu Wikarta
  120. dr. Memorison Tarigan
  121. dr. Ayu Nurul Zakiah
  122. dr. Hardi Edward Sibagariang
  123. dr. Fiblia
  124. dr. Guntur Mulia Jendry Ginting
  125. dr. Jarmila Elmaco
  126. dr. Ade Andriany
  127. dr. Ernita Sinaga
  128. dr. Rina Lisa Madona
  129. dr. Daniel Parulian Tarigan
  130. dr. Julahir Hodmatua Siregar
  131. dr. Ricky Rivalino Sitepu
  132. dr. Efzah
  133. dr. Abdus Somad Harahap
  134. dr. Ahmad Muhar
  135. dr. Inda Damayanti
  136. dr. Reny Fahila
  137. dr. Juang Usman Rangkuti
  138. dr. Muhammad Taufiq Siregar
  139. dr. Billy Stinggo P. Siahaan
  140. dr. Tengku Dian Permatasari
  141. dr. Jubilate P. Sigalingging
  142. dr. Muhammad Fauzi
  143. dr. Triyono
  144. dr. Rahmawati
  145. dr. Elly Indriani
  146. dr. Wahyu Mulyasari
  147. dr. Zulfahmi Zulfa
  148. dr. Zulfahmi
  149. dr. Hartono Apriliasta Purba
  150. dr. Rudi Erwin Kurniawan
  151. dr. Erni Erdoris Ginting










Selasa, 21 Mei 2013

Susahnya terkoneksi dengan ipd.usu.ac.id

untuk kesekian kalinya saya ucapkan mohon maaf sebesar2nya atas ketidaknyamanan yang terjadi karena susahnya terkoneksi dengan halaman ipd.usu.ac.id

untuk diketahui bahwa hal tersebut bukan dikarenakan kesengajaan, tetapi permasalahan di puskom usu, oleh karena itu, saya akan memberdayakan blog ini untuk sementara waktu sampai permasalahan di puskom usu terselesaikan.

terima kasih

admin



Rabu, 20 Juni 2012

Efek Latihan Jasmani Dalam Memperbaiki Sensitifitas Insulin


Brama Ihsan Sazli
Divisi Endokrinologi Metabolik

PENDAHULUAN RESISTENSI INSULIN
Resistensi Insulin adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak memadai untuk menghasilkan respons insulin normal dari sel lemak, sel otot dan sel hati. Resistensi insulin pada sel-sel lemak mengurangi efek insulin dan mengakibatkan peningkatan hidrolisis cadangan trigliserida, jika tidak ada langkah-langkah yang baik untuk meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau dengan memberikan insulin tambahan. Peningkatan mobilisasi cadangan lipid akan meningkatkan asam lemak bebas dalam plasma darah. Resistansi insulin pada sel-sel otot mengurangi ambilan glukosa (serta menurunkan penyimpanan glukosa sebagai glikogen), sedangkan resistensi insulin pada sel-sel hati menyebabkan gangguan sintesis glikogen dan kegagalan untuk menekan produksi glukosa. Konsentrasi asam lemak yang tinggi dalam darah (berhubungan dengan resistensi insulin dan diabetes melitus Tipe 2), berkurangnya asupan glukosa otot, dan peningkatan produksi glukosa hati semua berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi glukosa darah. Tidak seperti diabetes melitus tipe 1, resistensi insulin umumnya bersifat "pasca-reseptor", yang berarti masalah terletak pada respon sel terhadap insulin alih-alih produksi insulin. Kadar plasma yang tinggi dari insulin dan glukosa akibat resistensi insulin diyakini sebagai asal usul sindrom metabolik dan diabetes tipe 2, termasuk komplikasinya1
Resistensi insulin sering ditemukan pada orang dengan adipositas visera (yaitu, kandungan jaringan lemak yang tinggi di bawah dinding otot perut - yang berbeda dengan adipositas subkutan atau lemak antara kulit dan dinding otot , khususnya di tempat lain pada tubuh, seperti pinggul atau paha), hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia yang disertai trigliserida tinggi, partikel small dense low-density lipoprotein (sdLDL) partikel, dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sehubungan dengan adipositas viseral , banyak bukti menunjukkan dua hubungan erat dengan resistensi insulin. Pertama, tidak seperti jaringan adiposa subkutan, sel-sel adiposa viseral menghasilkan sejumlah besar sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-a), dan interleukin-1 dan -6, dll. Pada banyak model eksperimental, sitokin pro-inflamasi ini sangat mengganggu aksi normal insulin dalam lemak dan sel-sel otot, dan mungkin menjadi faktor utama dalam menyebabkan resistensi insulin seluruh tubuh yang diamati 2
pada pasien dengan adipositas viseral. Banyak perhatian ke produksi sitokin pro-inflamasi berfokus pada jalur IKK-beta/NF-kappa-B, jaringan protein yang meningkatkan transkripsi gen sitokin. Kedua, adipositas viseral terkait dengan akumulasi lemak dalam hati, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyakit hati berlemak nonalkohol (NAFLD). Hasil yang berlebihan NAFLD adalah pelepasan asam lemak bebas ke dalam aliran darah (karena meningkatnya lipolisis), dan peningkatan produksi glukosa hepatik, yang keduanya mempunyai efek memperburuk resistensi perifer insulin dan meningkatkan kecenderungan diabetes mellitus tipe 2 .2

Peranan Biomarker Dalam Membedakan Demam Karena Infeksi Dan Non-Infeksi


Andri Iskandar Mardia
Divisi Penyakit Tropik & Infeksi

Pendahuluan
Demam merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien baik berobat jalan maupun dirawat. Demam menempati urutan ketiga sebagai keluhan utama pasien yang datang IGD di amerika serikat, dan sekitar 10% pasien-pasien yang datang ke IGD mendapat antibiotik.
Demam adalah peningkatan suhu tubuh (suhu oral > 37,8 oc atau suhu rectal >38,2oc) atau adanya peningkatan diatas nilai normal harian. Banyak pasien menggunakan kata demam dengan salah, mereka mengatakan demam untuk kondisi seperti telalu hangat, terlalu dingin, atau berkerringat banyak tanpa melakukan pengukuran suhu tubuh yang sebenarnya.
Selain infeksi bakteri, virus atau parasit, demam dapat juga disebabkan kondisi non-infeksi seperti sistemik lupus eritematosus, rheumatoid arthritis, inflammatory bowel disease, sindroma auto-inflamatory, paraneoplastik sindroma pada keganasan atau febril neutropenia atau setelah kemoterapi, kerusakan jaringan seperti iskemik atau proses tromboemboli, kelainan endokrin ataupun akibat obat-obatan. 1
Dekade terakhir banyak diteliti biomarker yang dapat membedakan antara demam akibat infeksi atau non-infeksi. Hal ini akan sangat berperan dalam pemilihan terapi terhadap pasien dengan demam. Pada tulisan ini akan dibahas biomarker-biomarker yang dapat membedakan demam akibat infeksi atau non-infeksi. Biomarker tersebut berupa biomarker yang nilainya meningkat pada kondisi inflamasi dan/atau infeksi. 1

Sindroma Nefrotik : Variasi Perjalanan Penyakit


Andri Iskandar Mardia

Divisi Nefrologi dan Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H Adam Malik –RSUP Dr.Pirngadi Medan

Pendahuluan
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonephritis (GN).  Sindroma nefrotik didefenisikan sebagai suatu sindroma klinik dengan ciri khusus proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73m2 luas permukaan badan per hari disertai hipoalbuminemia kurang dari 3,0 gr/mL.1,3 Proteinuria dan hipoalbuminemia merupakan kriteria dasar SN disamping gejala lain seperti:1,4,5
a.       Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross
b.      Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total, dan trigliserida
c.       Edema
Angka kejadian SN pada anak-anak di United state sekitar 20 kasus/satu juta anak, sedangkan Angka kejadian SN akibat diabetes mellitus (DM) sekitar 50 kasus/satu juta penduduk.6 Diabetes merupakan penyebab terbanyak dari SN pada Negara berkembang.4 Sekitar 10% SN pada dewasa diakibatkan oleh diabetes mellitus (DM).5
Kematian pada SN primer disebabkan progresivitas SN yang mengakibatkan gagal ginjal atau akibat komplikasi seperti infeksi, thrombosis, dan lainnya. Pada SN sekunder kematian umumnya diakibatkan oleh penyakit sistemiknya seperti DM dan lupus. 6

Selasa, 19 Juni 2012

Manajemen Penyakit Ginjal Kronik Stadium V Pre-Dialisis

Mardiya Sari 
Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam 
FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan

I. PENDAHULUAN                                                                                                      
            Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa PGK tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.
II. MANIFESTASI GAGAL GINJAL KRONIK
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
   Homeostasis natrium dan air
            Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan. Penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.1
Homeostasis kalium            
            Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karena konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefron bagian distal. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.1
Asidosis metabolik
            Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.1
2.Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat
            Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidisme berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan menimbulkan          retensi             PO43-.
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar para
         tiroid. .
(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh kalsiferol )
.
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah dapat menimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder.1,2
             Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan  diabetes.1,2
            Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna
.1,2
III. PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V PRE-DIALISIS
Penatalaksanaan konservatif  penyakit ginjal kronik meliputi1:       
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
antara lain gangguan keseimbangan   cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3.Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebih
lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.1
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:
1.      Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
2.      Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3.      Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4.      Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah1:
1.      Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
Ø  Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
Ø  Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Ø  Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
Ø  Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
2.  Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly progresif)
Ø  Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
Ø  Mengendalikan infeksi jika terjadi
Ø  Diet protein yang proporsional
Ø  Mengendalikan hiperfosfatemia
Ø  Terapi terhadap hiperurisemia
Ø  Terapi keadaan asidosis metabolik
Ø  Mengontrol kadar gula darah
3.  Terapi alleviative gejala azotemia
Ø  Pembatasan konsumsi protein hewani
Ø  Terapi gatal-gatal pada kulit
Ø  Terapi terhadap keluhan gastrointestinal
Ø  Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
Ø  Terapi kelainan tulang dan sendi
Ø  Terapi anemia

·         PEMBATASAN ASUPAN PROTEIN
Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah sebagai berikut3:
1. Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
Ø  Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
Ø  kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari protein dengan nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah mengandung phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada PGK. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa protein dari kedelai dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat menurunkan eksresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien PGK. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu ternyata dapat menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .3,4,5
Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan pemberian protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam amino esensial atau campuran asam amino esensial dan asam keto. Kedua diet ini dapat mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis asam amino asensial dapat terpenuhi. Saat ini dampak diet rendah protein disertai dengan pemberian asam keto merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun diteliti. Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan dapat mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan protein tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.5,6
Teplan melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh jangka panjang diet rendah protein ditambah asam keto dan ACE-inhibitor terhadap metabolisme dan proteinuria pada pasien nefropati diabetik. Setelah 12 bulan dijumpai penurunan proteinuria yang signifikan terkait dengan perbaikan parameter metabolisme protein dan dapat memperlambat progresi penyakit ginjal terkait dengan penurunan klirens inulin.7
Dalam penelitian Walser, VLPD (0,3gr/kgBB) dengan suplementasi asam keto dan dengan pengawasan yang ketat ternyata dapat menunda dialisis dalam kurun waktu 1 tahun. 8
Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet protein sangat penting dalam pencegahan progresifitas PGK. Dalam penelitian ini ternyata asupan VLPD disertai suplemen ketoanalog menurunkan proteinuria serta tekanan darah lebih terkontrol dibandingkan dengan grup yang mendapat asupan LPD. Penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio intake protein nabati pada diet VLPD dengan ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata dijumpai efek vasodilatasi melalui respon dari kadar BCAA yang mengakibatkan penurunan tekanan darah sehingga dapat menghambat progresifitas PGK.9
Keuntungan suplementasi ketoanalog pada metabolism protein dan asam amino antara lain6:
v  mencegah dekarboksilasi asam amino
v  mengalami konversi menjadi asam amino
v  meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen.
Ø  Dosis suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari)
Ø  Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
Ø  Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500 ml.
Ø  Garam <2 garam/hari
Ø  Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
Ø  Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800 mg/hari)
Ø  Kalsium 1400-1600 mg/hari
Ø  Sumber Vitamin dan Mineral
Pasien yang mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak.3
Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein
            Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi ‘intoleransi protein’ ketika mereka makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan asam amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru. Kedua, protein menghasilkan nitrogen yang merupakan sisa metabolime protein dan harus diekskresikan melalui ginjal , bila terakumulasi akan menyebabkan gejala-gejala uremia. Sisa metabolisme protein lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah. Urea merupakan metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari toksin-toksin yang lainnya. Jika seorang penderita PGK makan makanan yang banyak mengandung protein, maka akan terakumulasi juga beberapa bahan yang lain seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911 penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang mendapat perhatian nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara lain > 30% penderita dengan asidosis berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan azotemia berat ( BUN > 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan sindroma metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.10,11,12,13




Tabel 1.  Alasan untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK(Fouque,2007)14
________________________________________________________________
Adaptasi adekuat terhadap asupan rendah protein
Menurunkan beban nefron yang masih tersisa
Memperbaiki resistensi insulin                                       
Mengurangi stress oksidasi          
Mengurangi proteinuria
Menurunkan kadar hormon paratiroid
Memperbaiki profil lipid
Efek aditif pada pemberian ACE inhibitor
Menurunkan angka kematian atau memperlambat inisiasi dialysis sampai
40%
Number needed to treat yang menguntungkan ( 1 pasien akan terhindar dari
kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang
mendapat diet rendah protein )
Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan diet
rendah protein kepada kebanyakan penderita PGK
 



HAMBATAN IMPLEMENTASI ASUPAN RENDAH PROTEIN
Implementasi diet rendah protein pada pengelolaan PGK sering terlupakan dan nilainya pada rencana pengelolaan penderita PGK sering diremehkan. Terdapat beberapa hambatan untuk melaksanaan strategi diet rendah protein ini. Kesulitan pertama adalah hasil dari studi MDRD yang menRekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis (K/DOQI,2002):
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis menurut K/DOQI 2002:
Untuk individu dengan PGK (LFG<25 ml/menit) yang belum menjalani hemodialisis regular, harus dipertimbangkan pemberian diet rendah protein 0,6 gr/kg BB/hari.
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis berdasarkan K/DOQI 2002 yaitu: untuk individu dengan PGK (LFG < 25 ml/menit) yang tidak menjalani hemodialisis regular, maka diberikan diet rendah protein 0,60 gr/kgBB/hari. Untuk individu yang tidak dapat menerima jenis diet tersebut atau tidak dapat mempertahankan asupan diet yang adekuat, perlu diberikan asupan protein hingga 0,75 gr/kg BB/hari.16
v  Bila dapat dilaksanakan dan dapat dimonitor, diet rendah protein, tinggi energi dapat mempertahankan status nutrisi dan mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen yang toksis, mengurangi gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik.
v  Bukti menunjukkan diet rendah protein dapat menghambat progresifitas gagal ginjal dan memperlambat kemungkinan terapi dialisis.
v  Paling sedikit 50% asupan protein harus mempunyai nilai biologis tinggi.
v  Bila penderita gagal ginjal mengkonsumsi nutrisi tidak terkontrol, penurunan asupan protein dan indikator status nutrisi harus dilakukan16.

Diet rendah protein dan malnutrisi
            Kita ketahui bahwa beberapa penderita PGK dapat kehilangan massa ototnya dan protein, tetapi dari beberapa laporan hal ini terjadi hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh asupan protein yang rendah. Pada kenyataannya telah banyak penelitian yang membuktikan kegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas diatas.3
            Pada perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan energi yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi mekanisme protektif maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk alasan ini, pasien PGK tanpa komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan orang dewasa sehat. Malnutrisi didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan oleh berkurangnya asupan kalori, protein atau adanya ketidak seimbangan diet, sehingga malnutrisi seharusnya diperbaiki dengan cara meningkatkan asupan kalori atau diet protein. Kehilangan otot pada PGK adalah suatu proses katabolisme yang terjadi karena teraktivasinya jalur seluler yang tidak tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan digunakannya istilah malnutrisi pada PGK disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa hipoalbuminemia disebabkan karena insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip dengan keadaan yang dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada pasien PGK. Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokin-sitokin di sirkulasi darah dan inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi).4,17
            Penurunan berat badan , kelemahan (fatigue) dan kehilangan massa otot yang terlihat
pada pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut merupakan konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan nutrisi yang kurang. Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan menimbulkan gangguan metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi protein dapat menimbulkan asidosis yang akan meningkatkan destruksi protein di otot melalui aktivasi sistim ubiquin-proteasome proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi sebagai sistim proteolitik yang menyebabkan katabolisme protein di otot pada keadaan tubuh mengalami katabolisme seperti luka bakar atau trauma. Asidosis metabolik juga menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif dan kehilangan cadangan protein. Koreksi asidosis dapat mensupresi sistim UPP dan menyebabkan peningkatan berat badan.10,17

Monitoring Asupan Nutrisi
            Asupan protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan ekskresi urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen appearance pada pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan rumus berikut :
            Asupan nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg)
Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam
asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
            Compliance diet rendah protein didefinisikan sebagai asupan aktual (yang sebenarnya) ± 20% asupan yang diresepkan. Pada penelitian-penelitian yang terkontrol baik, asupan aktual cenderung lebih besar 10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada penelitian dengan kontrol yang kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet protein yang diresepkan. Oleh karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara berkesinambungan dan pemeriksaan kadar urea dalam urine secara teratur.4

·         Penanganan terhadap hiperkalemia
            Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung. Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia, dan asidosis. Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek hiperkalemia. Penanganan terhadap kondisi hiperkalemia yaitu:
1.      Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron, penyekat-β non selektif, ACE-I, dan ARB.
2.      Stop makanan dan minuman yang mengandung kalium.
3.      Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml secara parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3 menit untuk mencegah gangguan ritme jantung.
4.      Berikan Insulin Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40% sebanyak 50 ml atau hanya glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat menurunkan kadar kalium 0,5-1,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat pada menit ke-15, mencapai puncak pada menit ke-60 dan berakhir dalam beberapa jam.
5.      Pemberian Beta2-agonis sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan, Albuterol 10-20 mg secara nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat terlihat dalam 90 menit, atau Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat terlihat dalam 30 menit.18

·         Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
            Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus ialah dengan pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik yang meningkat. Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal. Dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.19

·         Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
            Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.19



·         Penatalaksanaan anemia
            Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab anemia adalah multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang memendek, perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid, keracunan aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola dengan baik.20
             Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah dengan memberikan preparat besi. Terapi besi pada PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi fase koreksi bertujuan untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai status besi cukup, yaitu feritin serum >100μg/L dan saturasi transferin >20%. Cara pemberian:
Ø  Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg, diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit.
Ø  Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.
Dosis besi fase koreksi:
ü  bila serum feritin ≤30μg/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
ü  bila serum feritin 31 sampai ≤100 μg/L : 4x100 mg dalam 4 minggu
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.20
Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi EPO. Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adek
uat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat
.
Kontraindikasi
pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO :
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi E
PO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan.  Fase koreksi bertujuan untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 %  dalam 2-4 minggu.
c. Hb,Ht
dipantau tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: dosis EPO
dipertahankan sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai dosis
EPO dinaikkan 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
.
g. Pemantauan status besi
perlu dilakukan selama pemberian EPO.
Terapi EPO fase pemeliharaan:
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>1
0 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%
.
Agar pemberian terapi
EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV  pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi
besi iv.20
·         Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis, yaitu
ü  yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat dan kalsium asetat.
ü  yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti lantanum karbonat.
Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang dapat mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21
·         Neuropati Perifer
            Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya.1

·         Pengobatan segera pada infeksi
             Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat meningkatkan proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut. Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
ü  Hindari antibiotik yang bersifat nefrotoksik
ü  Perhatikan golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.1,22

·         Penanganan terhadap dislipidemia
            Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk modulasi kerusakan progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari 13 studi yang telah dipublikasi, Fried dkk menyimpulkan koreksi farmakologik dislipidemia memperlihatkan penurunan yang lambat fungsi ginjal walaupun dengan efek minimal. Statin merupakan pilihan utama untuk tujuan renoprotektif karena mempunyai efek pleiotropik pada vaskuler, mempunyai efek anti inflamasi, anti oksidan, immunomodulasi, proangiogenik dan anti trombotik. Efek renoprotektif statin telah didukung dari data post-hoc dari studi CARE.1

KESIMPULAN
                Penderita PGK dianjurkan untuk mengontrol kandungan protein pada nutrisinya, berdasarkan penelitian-penelitian terdapat pengaruh yang menguntungkan terhadap metabolik bila diberikan diet rendah protein atau diet sangat rendah protein ditambah dengan ketoanalog seperti mengontrol tekanan darah, berkurangnya gejala uremia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, serta PTH. Berkurangnya limbah nitrogen dan kadar PTH akan turut memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, meningkatkan respon terhadap terapi eritropoietin dan mengontrol anemia. Diet rendah protein juga menyebabkan penurunan tekanan kapiler glomerulus dan proteinuria sehingga dapat memperlambat progresifitas PGK. Diet rendah protein ini aman dan tidak menimbulkan kehilangan massa otot, fatigue dan malnutrisi. Faktor-faktor yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.






















DAFTAR PUSTAKA
1.      Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung. Penerbit ITB: 2006;465-514.
2.      Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD. Serum phosphate levels and mortality risk
            among people with chronic kidney disease. Kidney Int 2005;95:S21-7
3.      Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik, diunduh dari:
 http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
4.      Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease (CKD) Patients, diunduh dari:
5.      Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal Disease: A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-89.
6.      Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres Nasional X Pernefri Annual Meeting;57-63. 
7.      Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in chronic renal failure, long term study.  Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
8.      Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
9.      Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood pressure control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
10.  Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic                          kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
       11. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
             Kidney Int 2005;67:1739-42
       12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J        Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
       13. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of                Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
14.  Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
             chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
      15. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney, Lippincot,          William&Wilkins, Philadelphia, 5thed;2005:115-137
     16. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative          (K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney          disease: evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality        Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
     17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic                  renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
     18.  Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik                      predialisis: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
     19.  Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease:
            Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:249-255
     20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,    Annual Meeting:37-40
     21.  Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum        Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual       meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit Universitas         Diponegoro:133-136.
     22.  Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC          2007.







Top of Form

Bottom of Form

Top of Form

Bottom of Form






 
Design by Free Wordpress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Templates