untuk kesekian kalinya saya ucapkan mohon maaf sebesar2nya atas ketidaknyamanan yang terjadi karena susahnya terkoneksi dengan halaman ipd.usu.ac.id
untuk diketahui bahwa hal tersebut bukan dikarenakan kesengajaan, tetapi permasalahan di puskom usu, oleh karena itu, saya akan memberdayakan blog ini untuk sementara waktu sampai permasalahan di puskom usu terselesaikan.
Resistensi Insulin adalah kondisi
di mana jumlah normal insulin tidak memadai untuk menghasilkan respons insulin
normal dari sel lemak, sel otot dan sel hati. Resistensi insulin pada sel-sel
lemak mengurangi efek insulin dan mengakibatkan peningkatan hidrolisis cadangan
trigliserida, jika tidak ada langkah-langkah yang baik untuk meningkatkan
sensitifitas terhadap insulin atau dengan memberikan insulin tambahan.
Peningkatan mobilisasi cadangan lipid akan meningkatkan asam lemak bebas dalam
plasma darah. Resistansi insulin pada sel-sel otot mengurangi ambilan glukosa
(serta menurunkan penyimpanan glukosa sebagai glikogen), sedangkan resistensi
insulin pada sel-sel hati menyebabkan gangguan sintesis glikogen dan kegagalan
untuk menekan produksi glukosa. Konsentrasi asam lemak yang tinggi dalam darah
(berhubungan dengan resistensi insulin dan diabetes melitus Tipe 2),
berkurangnya asupan glukosa otot, dan peningkatan produksi glukosa hati semua
berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi glukosa darah. Tidak seperti
diabetes melitus tipe 1, resistensi insulin umumnya bersifat
"pasca-reseptor", yang berarti masalah terletak pada respon sel
terhadap insulin alih-alih produksi insulin. Kadar plasma yang tinggi dari
insulin dan glukosa akibat resistensi insulin diyakini sebagai asal usul
sindrom metabolik dan diabetes tipe 2, termasuk komplikasinya1
Resistensi insulin sering
ditemukan pada orang dengan adipositas visera (yaitu, kandungan jaringan lemak
yang tinggi di bawah dinding otot perut - yang berbeda dengan adipositas
subkutan atau lemak antara kulit dan dinding otot , khususnya di tempat lain
pada tubuh, seperti pinggul atau paha), hipertensi, hiperglikemia dan
dislipidemia yang disertai trigliserida tinggi, partikel small dense
low-density lipoprotein (sdLDL) partikel, dan penurunan kadar kolesterol HDL.
Sehubungan dengan adipositas viseral , banyak bukti menunjukkan dua hubungan
erat dengan resistensi insulin. Pertama, tidak seperti jaringan adiposa
subkutan, sel-sel adiposa viseral menghasilkan sejumlah besar sitokin
pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-a), dan interleukin-1
dan -6, dll. Pada banyak model eksperimental, sitokin pro-inflamasi ini sangat
mengganggu aksi normal insulin dalam lemak dan sel-sel otot, dan mungkin
menjadi faktor utama dalam menyebabkan resistensi insulin seluruh tubuh yang
diamati 2
pada pasien dengan adipositas viseral. Banyak perhatian ke
produksi sitokin pro-inflamasi berfokus pada jalur IKK-beta/NF-kappa-B,
jaringan protein yang meningkatkan transkripsi gen sitokin. Kedua, adipositas
viseral terkait dengan akumulasi lemak dalam hati, suatu kondisi yang dikenal
sebagai penyakit hati berlemak nonalkohol (NAFLD). Hasil yang berlebihan NAFLD
adalah pelepasan asam lemak bebas ke dalam aliran darah (karena meningkatnya
lipolisis), dan peningkatan produksi glukosa hepatik, yang keduanya mempunyai
efek memperburuk resistensi perifer insulin dan meningkatkan kecenderungan
diabetes mellitus tipe 2 .2
Demam merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien baik
berobat jalan maupun dirawat. Demam menempati urutan ketiga sebagai keluhan
utama pasien yang datang IGD di amerika serikat, dan sekitar 10% pasien-pasien
yang datang ke IGD mendapat antibiotik.
Demam adalah peningkatan suhu tubuh (suhu oral > 37,8 oc
atau suhu rectal >38,2oc) atau adanya peningkatan diatas nilai
normal harian. Banyak pasien menggunakan kata demam dengan salah, mereka
mengatakan demam untuk kondisi seperti telalu hangat, terlalu dingin, atau
berkerringat banyak tanpa melakukan pengukuran suhu tubuh yang sebenarnya.
Selain infeksi bakteri, virus atau parasit, demam dapat juga
disebabkan kondisi non-infeksi seperti sistemik lupus eritematosus, rheumatoid
arthritis, inflammatory bowel disease,
sindroma auto-inflamatory, paraneoplastik sindroma pada keganasan atau febril
neutropenia atau setelah kemoterapi, kerusakan jaringan seperti iskemik atau
proses tromboemboli, kelainan endokrin ataupun akibat obat-obatan. 1
Dekade terakhir banyak diteliti biomarker yang dapat membedakan
antara demam akibat infeksi atau non-infeksi. Hal ini akan sangat berperan
dalam pemilihan terapi terhadap pasien dengan demam. Pada tulisan ini akan
dibahas biomarker-biomarker yang dapat membedakan demam akibat infeksi atau
non-infeksi. Biomarker tersebut berupa biomarker yang nilainya meningkat pada
kondisi inflamasi dan/atau infeksi. 1
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonephritis (GN). Sindroma
nefrotik didefenisikan sebagai suatu sindroma klinik dengan ciri khusus
proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73m2 luas permukaan
badan per hari disertai hipoalbuminemia kurang dari 3,0 gr/mL.1,3 Proteinuria
dan hipoalbuminemia merupakan kriteria dasar SN disamping gejala lain seperti:1,4,5
a.Lipiduria yang
terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross
b.Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total, dan
trigliserida
c.Edema
Angka kejadian SN pada anak-anak di United state sekitar 20 kasus/satu juta
anak, sedangkan Angka kejadian SN akibat diabetes mellitus (DM) sekitar 50
kasus/satu juta penduduk.6 Diabetes merupakan penyebab terbanyak
dari SN pada Negara berkembang.4 Sekitar 10% SN pada dewasa diakibatkan
oleh diabetes mellitus (DM).5
Kematian pada SN primer disebabkan progresivitas SN yang
mengakibatkan gagal ginjal atau akibat komplikasi seperti infeksi, thrombosis,
dan lainnya. Pada SN sekunder kematian umumnya diakibatkan
oleh penyakit sistemiknya seperti DM dan lupus. 6
Mardiya Sari Divisi
Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H.
Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan
I. PENDAHULUAN
Penyakit
ginjal kronik (PGK)
adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal
ginjal atau End Stage Renal Disease
(ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia, baik di negara berkembang maupun
di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi pengganti ginjal meningkat
dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa PGK tahap akhir
meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor yang dapat
mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus,
hiperurisemia, dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan
keseimbangan cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu
dikontrol dan diatasi sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda
dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.
II. MANIFESTASI
GAGAL GINJAL KRONIK
1. Gangguankeseimbangancairan, elektrolit, dan asam basa
•Homeostasisnatriumdanair
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit
ginjal kronik yang stabil kandungan natrium danH2O pada seluruh tubuhmeningkat secara perlahan.Penyebabnya adalah terganggunyakeseimbangan glomerulotubular yang
menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan yang
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES
akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh.
Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti
terjadi ekspansi CES, maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake
garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.1
•Homeostasis kalium Pada penyakit ginjal kronik, penurunan
LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun
demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karena konstipasi, katabolisme protein,
hemolisis, pendarahan , transfusion of
stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan
beberapa obat yang dapat
menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium dinefronbagian distal. Hipokalemia jarang terdapat pada
penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam
kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.1
•Asidosis metabolik
Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan
produksi penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik.
Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat
atau natrium sitrat memperbaiki asidosis.Pemberian natrium harus dilaksanakan
dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.1
2.Penyakittulang dan kelainan metabolisme kalsium
dan fosfat
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada
PGK
dapatdiklasifikasikansebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH.Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidisme berhubungan dengan metabolisme mineral
yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik
fosfat (PO43- ) danmenimbulkanretensi PO43-.
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa
sel kelenjar paratiroid. .
(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan
sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol
(1,25 – dihidroksi oleh kalsiferol ).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari
penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia.
Kadar kalsitriol yang rendah dapat menimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan tidak
langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi
PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik
menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan
gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian
menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara
keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol,
semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang
menimbulkan hiperparatiroid sekunder.1,2
Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan
penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan
jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas.
Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak
termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan
defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik.
Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid
pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini biasanyaterjadipadapasiendengandiabetes.1,2
Osteodistrofi renal merupakan
komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorpsi fosfat di saluran cerna.1,2
III.
PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V PRE-DIALISIS
Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi1:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbidantara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3.Memperlambat progesivitas penyakit
ginjal kronik
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG
lebihlanjut.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasiglomerulus.1
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik
pre-dialisis antara lain adalah:
1.Mencegah
perburukan faal ginjal secara progresif
2.Meringankan
keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3.Mempertahankan
dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4.Memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
Beberapa
prinsip terapi konservatif antara lain adalah1:
1.Mencegah
perburukan faal ginjal secara progresif
ØHati-hati
pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
ØHindari
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
ØHindari proses
kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
ØHindari
instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
2. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal
yang progresif lambat (slowly progresif)
ØMengendalikan
hipertensi sistemik dan intraglomerular
ØMengendalikan
infeksi jika terjadi
ØDiet protein
yang proporsional
ØMengendalikan
hiperfosfatemia
ØTerapi terhadap
hiperurisemia
ØTerapi keadaan
asidosis metabolik
ØMengontrol
kadar gula darah
3. Terapi
alleviative gejala azotemia
ØPembatasan
konsumsi protein hewani
ØTerapi
gatal-gatal pada kulit
ØTerapi terhadap
keluhan gastrointestinal
ØTerapi terhadap
keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
ØTerapi kelainan
tulang dan sendi
ØTerapi anemia
·PEMBATASAN
ASUPAN PROTEIN
Standar diet pada
Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah sebagai
berikut3:
1. Syarat
Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana
umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai
berikut:
ØKarbohidrat
sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
Økebutuhan
protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari protein dengan
nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti
protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Susu kacang
kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang
didapat dari protein nabati adalah mengandung phytoestrogen yang disebut
isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada PGK. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa protein dari kedelai dapat menurunkan
proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang
diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian
lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat
menurunkan eksresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah
kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien PGK. Pada binatang
percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi casein dibandingkan dengan
protein kedelai setelah 1-3 minggu ternyata dapat menunda penurunan fungi
ginjal lebih lanjut.
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan
normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .3,4,5
Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan
pemberian protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam amino
esensial atau campuran asam amino esensial dan asam keto. Kedua diet ini dapat
mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis asam amino
asensial dapat terpenuhi. Saat ini dampak diet rendah protein disertai dengan
pemberian asam keto merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun diteliti.
Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan dapat
mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan protein tubuh
tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.5,6
Teplan melakukan penelitian tentang bagaimana
pengaruh jangka panjang diet rendah protein ditambah asam keto dan
ACE-inhibitor terhadap metabolisme dan proteinuria pada pasien nefropati
diabetik. Setelah 12 bulan dijumpai penurunan proteinuria yang signifikan
terkait dengan perbaikan parameter metabolisme protein dan dapat memperlambat
progresi penyakit ginjal terkait dengan penurunan klirens inulin.7
Dalam penelitian Walser, VLPD (0,3gr/kgBB)
dengan suplementasi asam keto dan dengan pengawasan yang ketat ternyata dapat
menunda dialisis dalam kurun waktu 1 tahun. 8
Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet
protein sangat penting dalam pencegahan progresifitas PGK. Dalam penelitian ini
ternyata asupan VLPD disertai suplemen ketoanalog menurunkan proteinuria serta
tekanan darah lebih terkontrol dibandingkan dengan grup yang mendapat asupan
LPD. Penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio intake protein nabati pada diet
VLPD dengan ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata dijumpai efek
vasodilatasi melalui respon dari kadar BCAA yang mengakibatkan penurunan
tekanan darah sehingga dapat menghambat progresifitas PGK.9
Keuntungan suplementasi ketoanalog pada metabolism
protein dan asam amino antara lain6:
vmencegah
dekarboksilasi asam amino
vmengalami
konversi menjadi asam amino
vmeningkatkan
sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen.
ØDosis
suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari)
ØLemak untuk
mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
ØKebutuhan
cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500
ml.
ØGaram <2
garam/hari
ØKalium
disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
Ø Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800
mg/hari)
ØKalsium
1400-1600 mg/hari
ØSumber
Vitamin dan Mineral
Pasien yang mengalami hipekalemi perlu
menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu
dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu
air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan
untuk buah dapat dimasak.3
Efek
Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein
Hampir sama dengan pasien dengan
penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme nitrogen, pada pasienPGK akan terjadi ‘intoleransi
protein’ ketika mereka makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke
dalam tubuh akan mengalami metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan
asam amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru.
Kedua, protein menghasilkan nitrogen
yang merupakan sisa metabolime protein danharus diekskresikan
melalui ginjal , bila terakumulasi akan
menyebabkan gejala-gejala uremia. Sisa metabolisme protein
lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic
amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah. Ureamerupakan metabolit nitrogen yang merupakan petanda
adanya akumulasi dari toksin-toksin yang lainnya. Jika seorang penderita PGK
makan makanan yang banyak mengandung protein, maka akan terakumulasi juga
beberapa bahan yang lain seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat. Sebagai
contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911
penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang mendapat perhatian
nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara lain >
30% penderita dengan asidosis berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l),
hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan azotemia berat ( BUN >
120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan hiperurisemia, tidak hanya
meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan sindroma
metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.10,11,12,13
Tabel
1. Alasan untuk mengontrol asupan protein pada
penderita PGK(Fouque,2007)14
Menurunkan angka kematian atau
memperlambat inisiasi dialysis sampai
40%
Number needed to treat yang
menguntungkan ( 1 pasien akan terhindar dari
kematian
atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang
mendapat
diet rendah protein )
Tidak adanya alasan objektif yang
pasti untuk tidak merekomendasikan diet
rendah
protein kepada kebanyakan penderita PGK
HAMBATAN IMPLEMENTASI ASUPAN RENDAH
PROTEIN
Implementasi
diet rendah protein pada pengelolaan PGK sering terlupakan dan nilainya pada rencana
pengelolaan penderita PGK sering diremehkan. Terdapat beberapa hambatan untuk
melaksanaan strategi diet rendah protein ini. Kesulitan pertama adalah hasil
dari studi MDRD yang menRekomendasi
asupan protein pada penderita PGK predialisis (K/DOQI,2002):
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK
predialisis menurut K/DOQI 2002:
Untuk individu dengan PGK (LFG<25 ml/menit) yang
belum menjalani hemodialisis regular, harus dipertimbangkan pemberian diet
rendah protein 0,6 gr/kg BB/hari.
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK
predialisis berdasarkan K/DOQI 2002 yaitu: untuk individu dengan PGK (LFG <
25 ml/menit) yang tidak menjalani hemodialisis regular, maka diberikan diet
rendah protein 0,60 gr/kgBB/hari. Untuk individu yang tidak dapat menerima
jenis diet tersebut atau tidak dapat mempertahankan asupan diet yang adekuat,
perlu diberikan asupan protein hingga 0,75 gr/kg BB/hari.16
vBila dapat dilaksanakan dan dapat dimonitor, diet
rendah protein, tinggi energi dapat mempertahankan status nutrisi dan
mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen yang toksis, mengurangi
gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik.
vBukti menunjukkan diet rendah protein dapat menghambat
progresifitas gagal ginjal dan memperlambat kemungkinan terapi dialisis.
vPaling sedikit 50% asupan protein harus mempunyai
nilai biologis tinggi.
vBila penderita gagal ginjal mengkonsumsi nutrisi tidak
terkontrol, penurunan asupan protein dan indikator status nutrisi harus
dilakukan16.
Diet rendah
protein dan malnutrisi
Kita
ketahui bahwa beberapa penderita PGK dapat kehilangan massa ototnya dan
protein, tetapi dari beberapa laporan hal ini terjadi hanya sebagian kecil saja
yang disebabkan oleh asupan protein yang rendah. Pada kenyataannya telah banyak
penelitian yang membuktikankegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas
diatas.3
Pada
perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan energi
yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi
mekanisme protektif maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk
alasan ini, pasien PGK tanpa komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan
orang dewasa sehat. Malnutrisi didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan kalori, protein atau adanya ketidak seimbangan diet,
sehingga malnutrisi seharusnya diperbaiki dengan cara meningkatkan asupan
kalori atau diet protein. Kehilangan otot pada PGK adalah suatu proses
katabolisme yang terjadi karena teraktivasinya jalur seluler yang tidak
tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan digunakannya istilah malnutrisi
pada PGK disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa hipoalbuminemia disebabkan
karena insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip dengan keadaan
yang dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada pasien
PGK. Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokin-sitokin di sirkulasi
darah dan inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat
(malnutrisi).4,17
Penurunan berat badan , kelemahan
(fatigue) dan kehilangan massa otot yang terlihat
pada
pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut merupakan
konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan nutrisi
yang kurang.
Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan menimbulkan gangguan
metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi protein dapat
menimbulkan asidosis yang akan meningkatkan destruksi protein di otot melalui
aktivasi sistim ubiquin-proteasome proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi
sebagai sistim proteolitik yangmenyebabkan katabolisme protein di otot pada keadaan tubuh mengalami
katabolisme seperti luka bakar atau trauma. Asidosis metabolik juga menyebabkan
keseimbangan nitrogen negatif dan kehilangan cadangan protein. Koreksi asidosis
dapat mensupresi sistim UPP dan menyebabkan peningkatan berat badan.10,17
Monitoring Asupan Nutrisi
Asupan
protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan ekskresi
urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen appearance
pada pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan
rumus berikut :
Asupan
nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg)
Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam
asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
Compliance
diet rendah protein didefinisikan
sebagai asupan aktual (yang sebenarnya) ± 20% asupan yang diresepkan. Pada
penelitian-penelitian yang terkontrol baik, asupan aktual cenderung lebih besar
10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada penelitian dengan kontrol yang
kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet protein yang diresepkan.
Oleh karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara berkesinambungan dan
pemeriksaan kadar urea dalam urine secara teratur.4
·Penanganan terhadap hiperkalemia
Hiperkalemia
salah
satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7
mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung.
Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia,
dan asidosis. Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk
mendeteksi efek hiperkalemia. Penanganan
terhadap kondisi hiperkalemia yaitu:
1.Stop obat yang
dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron, penyekat-β non
selektif, ACE-I, dan ARB.
2.Stop makanan
dan minuman yang mengandung kalium.
3.Jika kalium
serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml secara
parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3 menit
untuk mencegah gangguan ritme jantung.
4.Berikan Insulin
Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40% sebanyak 50 ml atau hanya
glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat menurunkan kadar kalium
0,5-1,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat pada menit ke-15, mencapai
puncak pada menit ke-60 dan berakhir dalam beberapa jam.
5.Pemberian Beta2-agonis
sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan, Albuterol 10-20 mg secara
nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat terlihat dalam 90 menit,
atau Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat terlihat dalam 30 menit.18
·Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Terapi farmakologis yang dipakai untuk
mengurangi
hipertensi glomerulus ialah dengan pengggunaan antihipertensi yang bertujuan
untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi
intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol
proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang
disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik yang meningkat. Saat ini diketahui secara
luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal. Dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses perburukan
fungsi ginjal pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim
konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui
berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi
lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika
terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut
dapat diberikan calcium chanel bloker,
seperti verapamil dan diltiazem.19
·Pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Hal ini dilakukan karena 40-45%
kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.
Hal-hal
yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi,
pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan
cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan.19
·Penatalaksanaan
anemia
Kejadian
anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab anemia adalah
multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel
eritrosit yang memendek, perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan
uremik, hiperparatiroid, keracunan aluminium, dan defisiensi produksi
eritropoietin. Anemia mempunyai dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler,
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola
dengan baik.20
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan
penyebabnya. Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi besi, maka terapinya
adalah dengan memberikan preparat besi. Terapi besi pada PGK menurut
rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih dahulu
dilakukan test dose, dimanaterapi besi fase koreksi bertujuan
untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai status
besi cukup, yaitu feritin serum >100μg/L dan saturasi transferin >20%.
Cara pemberian:
ØIron sucrose
( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg, diencerkan
dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit.
ØIron
dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.
Dosis besi fase koreksi:
übila serum
feritin ≤30μg/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
übila serum
feritin 31 sampai ≤100 μg/L : 4x100 mg dalam 4 minggu
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2
minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi.
Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.20
Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi
pengobatan asam folat dengan dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu.
Jika penyebab
anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi EPO. Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari
PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada
beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syaratpemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin >
20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu diperhatikan pada
terapi EPO:
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan untuk mengoreksi anemia renal sampai
target Hb/Ht tercapai. a. Pada
umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht
naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Hb,Ht dipantau
tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai
(> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan
dosis 25%.
g. Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.
Terapi EPO fase pemeliharaan:
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu, Hb dan Ht
dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi
cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%.
Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang
seperti:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pada anemia
defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan
terapi besi iv.20
·Osteodistrofi
ginjal
Salah satu tindakan pengobatan
terpenting untuk mencegah timbulnya hiperparatiroidisme sekunder dan segala
akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan pemberian agen yang dapat
mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis, yaitu
üyang
mengandung kalsium (calcium containing
phosphate binder) sepeti kalsium karbonat dan kalsium asetat.
üyang
tidak mengandung kalsium (noncalcium
containing phosphate binder) seperti lantanum karbonat.
Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia
mencegah urutan peristiwa yang dapat mengarah pada gangguan kalsium dantulang. Apabila
terjadi keterlibatan tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan
agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D atau
paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu harus dimulai
terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21
·Neuropati Perifer
Biasanya
neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap
yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi
perubahan tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan
perkembangannya.1
·Pengobatan segera pada infeksi
Penderita gagal ginjal kronik memiliki
kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan infeksi, terutama infeksi
saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat meningkatkan proses katabolisme dan
mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal
lebih lanjut. Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
üHindari
antibiotik yang bersifat nefrotoksik
üPerhatikan
golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.1,22
·Penanganan terhadap dislipidemia
Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk modulasi
kerusakan progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari 13 studi yang
telah dipublikasi, Fried dkk menyimpulkan koreksi farmakologik dislipidemia
memperlihatkan penurunan yang lambat fungsi ginjal walaupun dengan efek
minimal. Statin merupakan pilihan utama untuk tujuan renoprotektif karena
mempunyai efek pleiotropik pada vaskuler, mempunyai efek anti inflamasi, anti
oksidan, immunomodulasi, proangiogenik dan anti trombotik. Efek renoprotektif
statin telah didukung dari data post-hoc dari studi CARE.1
KESIMPULAN
Penderita
PGK dianjurkan untuk mengontrol kandungan protein pada nutrisinya,berdasarkan
penelitian-penelitian terdapat pengaruh yang menguntungkan terhadapmetabolik biladiberikan diet rendah
protein atau diet sangat rendah protein
ditambah dengan ketoanalog seperti mengontrol tekanan darah,
berkurangnyagejala
uremia,asidosis
metabolik, hiperfosfatemia, serta PTH. Berkurangnya limbahnitrogen dankadar PTH akan turut
memperbaiki sensitivitas terhadap insulin,meningkatkan responterhadap terapi
eritropoietin dan mengontrol anemia. Diet rendahprotein juga
menyebabkan penurunan tekanan kapiler glomerulus dan proteinuriasehingga dapat memperlambat
progresifitas PGK.Diet
rendah protein ini aman dan tidak menimbulkan kehilangan massa otot,fatigue dan
malnutrisi. Faktor-faktor yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti
hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemia, asidosis metabolik,
hiperfosfatemia, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam
basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga
dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal
sepeti hemodialisis atau CAPD.
DAFTAR PUSTAKA
1.Sukandar
E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung. Penerbit ITB:2006;465-514.
5.Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis
Patients to Prevent End Stage Renal Disease: A comprehensive Approach to Kidney
Disease and Hypertension, Annual meeting of Indonesian Society of Nephrology
(InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-89.
6.Lestariningsih.
Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres Nasional X
Pernefri Annual Meeting;57-63.
7.Teplan
V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin
in chronic renal failure, long term study.
Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
8.Walser
M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
9.Bellizi V. Very low
potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood pressurecontrol in chronic
kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
10. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein
restriction in the management of chronic kidneydisease. European
Renal Disease 2007;41-45
12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric
acid, the metabolic syndrome and renal disease. J Am
Soc Nephrol 2006;17:165-168
13. Nair KS. Amino acid and protein
metabolism in chronic renal failure. Journal of Renal Nutrition
2005;15(1):28-33
14. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to
control the protein intake of patients with
chronic
kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
15.Mitch WE, Klahr S.
Handbook of nutrition and the kidney, Lippincot,William&Wilkins,Philadelphia, 5thed;2005:115-137
16. National Kidney Foundation (NKF)
Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI)
Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney disease: evaluation, classification,
and stratification. Kisney Disease Outcome Quality Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M,
Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic renalfailure. Nephrol Dial
Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
18.Siregar P,
Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik predialisis:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
19.
Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual
Meeting:249-255
20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit
ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri, Annual
Meeting:37-40
21. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada
penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum Karbonat,
A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension,
Annual meeting
of Indonesian Society of Nephrology (InaSn).
Balai Penerbit Universitas Diponegoro:133-136.
22. Suhardjono,
Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC 2007.